Sabtu, 18 Februari 2012

MEMBANGUN ASPEK ASPEK GOOD GOVERMENTS

MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA DAN ASPEK – ASPEK GOOD GOVERNANCE


DISUSUN :
BAID AL FURQON
09417144020





PROGAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2010

Membangun good governance dan aspek – aspek good governance
Good Governance adalah solusi agar Cerita otonomi daerah bukannya cerita tentang konflik demi konflik antara eksekutif dan legislatif,atau eksekutif dengan masyarakatnya serta korupsi yang beralih dari pemerintah pusat kepada pejabat di daerah (Mokapog Centre - PSP). Reformasi telah melahirkan desentralisasi dan otonomi daerah. Semangat desentralisasi menyimpan dua hal yang penting. Pertama, terbentuknya otonomi daerah atau daerah otonom. Kedua, penyerahan sejumlah wewenang dan fungsi pemerintahan kepada daerah otonom. Dalam konteks Indonesia, karena derasnya tuntutan reformasi dan bergolaknya daerah menuntut keadilan karena selama Orde Baru mereka menjadi ”sapi perah” pemerintahan pusat, maka kedua hal di atas diberikan "payung" yuridis atau legalitasnya, yakni dengan terbitnya Undang-Undang (UU) No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Undang-undang ini bisa didefinisikan bahwa otonomi daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan dalam mengelola dan mengurusi segala hal yang terkait dengan masyarakat di daerah-daerah tersebut melalui inisiatif dan prakarsa masyarakat sendiri. Artinya, dalam konteks di atas, daerah diberikan keleluasaan untuk mengurusi diri sendiri, baik aspek ekonomi, sosial, budaya dan pemerintahan. Pemerintah Pusat yang dulu secara sentralistik berkuasa untuk pembangunan di daerah, hal itu tidak terjadi lagi. Pemerintah pusat hanya menjadi fasilitator dan subjek pembangunan sepenuhnya ada pada pemerintah daerah. Inilah perubahan yang sedang terjadi yakni dari proses sentralisasi menjadi desentralisasi. Positif memang, pemerintah daerah bisa menjadi merdeka, memiliki kebebasan dan berdaya untuk menentukan arah pembangunan di daerahnya. Kearifan-keraifan lokal bisa tumbuh dan bermunculan dengan baik melalui otonomi daerah dimana hal ini sangat berguna bagi pembangunan di daerah tersebut. Dimana selama 32 tahun, hal tersebut menjadi sesuatu yang mustahil dan sangat tidak mungkin. Reformasi yang melahirkan proses desentralisasi dan otonomi daerah juga menghasilkan dampak negatif. Karena otonomi daerah itu pada awalnya dilahirkan melalui isu-isu politik, misalnya disintegrasi, bukannya proses rasionalisasi: keinginan untuk menarik investor atau perusahaan ke daerah tersebut dengan jaminan keamanan (security) dan tingkat kepercayaan (trust) yang baik. Konsekuensinya, desentralisasi telah melahirkan raja-raja kecil di daerah. Korupsi yang merajalela dan tata pemerintahan daerah yang amburadul. Dampak negatif tersebut dirasakan akan mendistorsi tujuan dari proses desentralisasi dan otonomi daerah tersebut, yakni pembangunan yang berkeadilan dan bisa mengangkat secara ekonomis kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Masyarakat yang terbebas dan sehat dari korupsi. Agar otonomi daerah yang merupakan buah reformasi tak sia-sia. Juga, agar otonomi daerah tidak diterjemahkan hanya sebagai alat atau instrumen dari para elite di daerah-daerah sebagai ajang rebutan untuk berlomba korupsi dan memperkaya diri sendiri, sementara masayrakat tetap miskin dan susah hidupnya. Untuk itulah, pilihan membangun good governance pada tingkat pemerintahan daerah/lokal adalah sesuatu yang penting. Penting, karena pemerintah daerah setelah adanya kebijakan otonomi daerah sedang menata dan mereformulasi tatanan pemerintahnnya. Makanya, sejak awal pembangunan tatanan pemerintah harus dilandaskan pada good governance sehingga pemerintah daerah itu demokratis dan sejahtera secara ekonomis. Good governance bisa di katakan sebagai terapi untuk membrantas segala dampak negatif yang bisa mendistorsi tujuan yang mulia dari otonomi daerah, yakni masyarakat yang berkeadilan dalam segala aspek kehidupannya. Karena good governance, secara ideal, merupakan obat yang mujarab dan baik dalam rangka pengembangan kelembagaan (capacity building) yang sehat di tingkat pemerintahan daerah/lokal. Good Governance mengacu pada pengelolaan sistem pemerintahan yang menempatkan partisipasi, keterbukaan, kontrol sosial, dan akuntabilitas sebagai nilai-nilai sentralnya. Menurut Bambang Widjojanto, good governance pertama kali dilansir sekitar tahun 1991 dalam sebuah resolusi dari the Council of the European Community yang membahas Human Rights, Democracy and development. Salah satu syarat dalam resolusi untuk membangun sustainable development adalah good governance Good governance akan tegak jikalau rule of law-nya tegak dan berdaya untuk melahirkan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun untuk menjaga tegaknya rule of law menurut Adnan Buyung Nasution ada empat hal :
Pertama, lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Kedua, lembaga legislatif yang aspiratif dan akseptabel .
Ketiga, Ada pemilu yang bebas, rahasia, jujur dan adil. Sehingga legislatif yang dipilih benar-benar mewakili rakyat, aspiratif, bertanggung jawab, dan.kompeten.
Keempat, kehidupan pers yang bebas dan sehat sebagai ajang wacana publik yang sehat.

Sedangkan menurut Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia UNDP ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan good governance tersebut:
Pertama, Pengambilan keputusan. Dalam pengambilan keputusan harus mencerminkan secara tegas dan jelas mengenai aspek keterwakilan dan aspek partisipasi dari masyarakat. Jadi dalam konteks ini, aspek keterwakilan dan aspek partisipasi bukanlah hal yang semu. Mengenai Aspek keterwakilan, bahwa elite-elite lokal yang terhimpun dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai wakil rakyat harus benar-benar mewakili dan memperjuangkan kepentingan rakyat, bukannya kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompoknya. Mengenai aspek partisipasi masyarakat adalah bahwa aspirasi masyarakat baik melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya didengar dan menjadi acuan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan publik di pemerintahan daerah/lokal tersebut.
Kedua, Aturan main. Penyelenggaraan good governance memprasyaratkan adanya aturan main (hukum) yang tegas, solid dan memihak kepada keadilan yang melingkupi aspek law enforcement dan aspek kesediaan untuk mematuhi aturan main yang sudah ditetapkan tersebut. Siapa pun tidak pandang bulu harus mematuhi aturan main baik elite-elite daerah/lokal maupun masyarakat itu sendiri. Dalam konteks penyelenggaraan good governance tidak lagi ditolerir bahwa aturan main itu hanya untuk dipatuhi oleh masyarakat tetapi tidak dipatuhi untuk elite lokal/pejabat daerah. Sehingga baik elite lokal/pejabat daerah maupun masayarakat itu sendiri memiliki kedudukan yang sama dalam hukum (aturan main) tersebut.
Ketiga, Pelayanan publik yang baik. Tingkat keberhasilan good governance adalah seauhmana pemerintah itu sendiri mampu memberikan pelayanan-pelayanan publik dengan baik dan optimal kepada masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga harus memiliki kesadaran kritis untuk mengimbanginya untuk menuntut adanya pelayanan-pelayanan publik yang baik, merupakan hak masyarakat itu sendiri.
Kalau seandainya pemerintah tidak melaksanakan kebijakan dan pelayanan publik secara baik, maka masayarakat berhak menagihnya yang bisa dilakukan dengan cara mengorganisir dirinya untuk bernegosiasi atau berdialog dengan pihak pemerintah. Dalam mengorganisir diri inilah biasanya masyarakat harus difasilitasi dan didukung oleh Lembaga-lembaga swadaya masayarakat. Untuk itu, kumpulan-kumpulan masyarakat yang mengorganisir diri pada perkumpulan atau organisasi-organisasi kemasyarakatan adalah salah satu wujud dari kontrol sosial dari masayarakat kepada pemerintah daerah/lokal yang juga diamanatkan dalam rangka memnbangun good governance tersebut.
Bagaimana implementasinya bagi pemerintahan daerah/lokal? Sehingga good governance merupakan kenyataan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah/lokal? Jawabannya adalah nilai-nilai sentral dari good governance, yakni partisipasi, keterbukaan, kontrol sosial dan akuntabilitas harus menjadi realitas sehari-hari dalam menjalankan roda pemerintahannya, baik untuk tingkat eksekutif, tingkat legislatif, maupun tingkat yudikatif. Agar good governance ini menjadi bangunan yang kokoh dan fondasi yang kuat bagi pemerintahan daerah/lokal, maka rumahnya harus terus dijaga tingkat efektivitas dan keberdayaannya, yakni tegaknya rule of law yang baik dan berkeadilan . Melalui good governance diharapkan pula, pada pemerintahan daerah/lokal akan terbangunnya pemerintah yang kuat, sehat, kredibel dan berwibawa dan begitupula dengan masyarakatnya. Sehingga pemerintah dan masyarakatnya memiliki hubungan yang sejajar, bukan hubungan yang subordinasi. Seringkali pemerintah selalu merasa superior terhadap masyarakatnya. Dalam konteks ini, seringkali pemerintah mengabaikan aspirasi dan kepentingan masyarakatnya. Good governance pada akhirnya mengacu kepada civil society yang harus tumbuh dalam pemeritahan lokal/ daerah. Yakni pemerintah yang kuat dan masyarakat yang kuat. Sehingga prinsip keseimbangan pun akan terjadi. Dari prinsip ini diharapkan akan terjadi saling koreksi antara masayarakat dan pemerintah yang pada tahap selanjutnya bisa membangun pemerintahan yang baik di tingkat lokal/ daerah tersebut.
Di sisi lain, sebagaimana dikatakan di atas, bahwa otonomi daerah sebagai buah reformasi tak sia-sia atau tak bermanfaat bagi kepentingan masyarakat di daerah. Maka, good governance harus menjadi manifesto politik untuk membangun otonomi daerah tersebut. Untuk itulah, setiap pemerintah daerah/lokal harus didorong dan difasilitasi untuk menjadikan good governance sebagai manifesto politiknya. Dalam konteks ini, dukungan masyarakat juga sangat penting dalam mendukung atau mengusung good governance sebagai manifesto politik bagi keberlangsungan penyelenggaraan otonomi daerah yang "sehat" dan bermanfaat tersebut.
Dengan demikian, otonomi daerah dan proses desentralisasi bisa membawa berkah dan kemaslahatan yang nyata bagi seluruh warga masyarakat daerah tersebut, karena sejak awal sudah dibangun good governance-nya. Tata pemeritahan di lokal/daerah pun menjadi "sehat" secara kelembagaan maupun pelaksana pemeritahannya. Sehingga cerita otonomi daerah bukannya konflik demi konflik antara eksekutif dan legislatif, atau eksekutif dengan masyarakatnya serta korupsi yang beralih dari pemerintah pusat kepada pejabat di daerah .

Selain itu, good governance juga merupakan wujud jawaban bagi pemerintah lokal/daerah atas kepercayaan Pemerintah pusat dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah tersebut Sehingga kepercayaan ini tak disia-siakan oleh pemerintah daerah dan tidak dianulir oleh pemerintah pusat. Dan peluang baik untuk membangun daerah dengan prakarsa sendiri tidaklah hilang tanpa bekas
Aspek-aspek good governance
Dari sisi pemerintah ( governance ), good governance dapat dilihat melalui aspek-aspek sebagai berikut :
1. Hukum / kebijakan, merupakan aspek yang ditujukan pada perlindungan kebebasan.
2. Kompetensi dan transparansi pemerintahan, yaitu kemampuan membuat perencanaan dan melakukan implementasi secara efisien kemampuan melakukan penyederhanaan organisasi, penciptaan disiplin dan model administratif, keterbukaan informasi.
3. Desentralisasi, yaitu desentralisasi regional dan dekonsentrasi di dalam departemen.
4. Penciptaan pasar yang kompetitif, yaitu penyempurnaan mekanisme pasar, peningkatan peran pengusaha kecil dan segmen lain dalam sektor swasta, deregulasi, dan kemampuan pemerintahan melkukan kontrol terhadap makroekonomi.
NFSD ( Novartis Foundation for Sustainable Development ) merumuskan kriteria good governance sebagai berikut :
1. Legitimasi dari pemerintahan ( menyangkut tingkat / derajat demokratisasi )
2. Akuntabilitas dari elemen-elemen politik dan pejabat dalam pemerintahan ( menyangkut pula kebebaran media , transparansi dalam pembuatan / pengambilan keputusan, mekanisme, akuntabilitas ).
3. Kompetensi pemerintahan dalam memformulasikan kebijakan dan memberikan pelayanan.
4. Penghormatan terhadap hak asasi manusia dan hukum yang berlaku ( hak-hak individu dan kelompok , keamanan, kerangka hukum untuk aktivitas sosial dan ekonomi, dan partisipasi ).
C. Karakteristik kepemerintahan yang baik menurut UNDP ( 1997 )
UNDP mengemukakan bahwa karaktesistik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktik penyelenggaraan kepemerintahan yang baik adalah mencakup :
1. Partisipasi ( participation ), yaitu keikutsertaan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan, kebebasan berserikat dan berpendapat, serta kebebasan untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2. Aturan hukum ( rule of law ), yaitu hukum harus adil tanpa pandang bulu, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh ( impartially ), terutama aturan hukum tentang hak-hak asasi manusia.
3. Transparan ( transparency ), yaitu adanya kebebasan aliran informasi dalam berbagai proses kelembagaan sehingga mudah diakses oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus disediakan secara memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi.
4. Daya tangkap ( responsiveness ) , yaitu proses yang dilakukan setiap institusi harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan ( stakeholders ).
5. Berorientasi konsensus ( consensus-orientted ), yaitu bertindak sebagai mediator bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai kesepakatan. Jika dimungkinkan dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.
6. Berkeadilan ( equity ), yaitu memberikan kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.
7. Efektivitas dan efisiensi ( effectiveness and efficiency ), yaitu segala proses dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber yang tersedia.
8. Akuntabilitas ( accountability ), yaitu para pengambil keputusan ( pemerintah, swasta, dan masyarakat madani ) harus bertanggung jawab kepada publik sesuai dengan jenis keputusan baik internal maupun eksternal.
9. Bervisi strategis ( strategic vision ), yaitu para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan manusia dengan memahami aspek-aspek historis, kultural dan kompleksitas sosial yang mendasari perspektif mereka.
10. Kesalingterkaitan ( interrelated ), yaitu adanya kebijakan yang saling memperkuat dan terkait ( mutually reinforcing ) dan tidak bisa berdiri sendiri.

1 komentar:

  1. tampilan artikelnya sagat membingungkan tidak ada sepasi dan enternya .

    BalasHapus